Sejarah
pengendalian hayati sebenarnya telah dimulai jauh sebelum pengendalian hayati didefinisikan
pengertiannya. Masyarakat Mesir pada 2.000 SM telah memelihara kucing untuk
mengendalikan tikus yang menyerang hasil panen mereka. Di Cina, semut
Oecophylla smaragdina telah digunakan untuk mengendalikan Lepidoptera dan Coleoptera
hama pada pertanaman jeruk sejak 324 SM. Cara tersebut masih digunakan di
Myanmar bagian Utara sampai tahun 1950-an. Pada saat ini, pengendalian hayati
telah mengalami banyak kemajuan, tetapi bukan berarti tanpa mengalami pasang
naik dan surut.
Dalam
perkembangannya sampai sekarang ini, sejarah pengendalian hayati dapat
dipilahkan menjadi tiga periode sebagai berikut:
1) Periode awal, sejak penggunaan
kucing untuk menangkap tikus oleh masyarakat Mesir Kuno sampai pada sekitar
1887.
2) Periode pertengahan, sejak
dilaksanakannya program pengendalian hayati menggunakan kumbang vedalia
(Rodolia cardinalis) untuk mengendalikan kutu sisik Icerya purchasi pada
tanaman jeruk di California pada 1888 sampai 1955.
3) Periode modern, sejak 1955
yang ditandai dengan perancangan program pengendalian hayati secara hati-hati
sampai sekarang.
Pengendali
hayati yang mula-mula dimanfaatkan adalah predator. Kucing (Felis catus) yang
dimanfaatkan oleh bangsa Mesir Kuno, semut (Oecophyla smaragdina) oleh bangsa
Cina, dan kemudian burung beo Acridotheres trictis yang diintroduksi dari India
ke Mauritius untuk mengendalikan belalang-kembara merah Nomadacris
septemfasciata pada tahun 1770, semuanya merupakan predator. Predator yang
pertama kali berhasil digunakan untuk mengendalikan hama secara luas adalah
pentatomid Picomerus bidens untuk mengendalikan kutu busuk Cimex lectularius di
Eropah pada 1776.
Parasitoid
baru dikenal pada akhir abad XVI. Pada 1602, U. Aldrovandi telah
mempublikasikan pengamatannya mengenai kokon Apanteles glomeratus yang menempel
pada tubuh larva Pieris brassicae, tetapi membuat kekeliruan dengan menyatakan
kokon tersebut sebagai telur serangga. Pada 1662, Johannes Goedaert
mempublikasikan bukunya, Metamorphosis et Historia Naturalis Insectorum, yang
memuat banyak gambar parasitoid dan menyebutkan bahwa lalat kecil keluar dari
pupa kupu-kupu. Interpretasi yang benar mengenai publikasi Goedaert diberikan
oleh Martin Lister, seorang dokter berkebangsaan Inggris, dalam suratnya yang
dipublikasikan dalam The Philosophical Transactions of the Royal Society of
London terbitan 1670-71 dengan menyatakan bahwa lalat yang keluar dari pupa
adalah keturunan dari lalat ikneumonid yang meletakkan telurnya di dalam larva
P. brassicae. Namun demikian, orang yang pertama kali memberikan uraian yang
sangat jelas mengenai fenomena parasitisme adalah ahli mikrobiologi
berkebangsaan Belanda, Antoni van Leeuwenhoek, melalui suratnya kepada The
Royal Society yang kemudian dipublikasikan dalam Philosophical Transactions yang
terbit pada 1701. Di dalam publikasi tersebut, van Leeuwenhoek menguraikan
dengan jelas serangga --yang kemudian dapat dideterminasi sebagai Aphidius
ribis-- yang memarasit Cryptomyzus ribis. Meskipun demikian, orang yang pertama
menginter-pretasikan fenomena tersebut sebagai parasitisme adalah Vallisnieri
pada 1706.
Pada 1800,
Erasmus Darwin menguraikan peranan predator dan parasitoid dalam mengendalikan
populasi serangga hama. Seorang berkebangsaan Jerman, Hartig, menganjurkan
pengumpulan parasitoid dari lalat terparasitasi untuk pelepasan masal pada
1827. Satu dasawarsa kemudian, seorang berkebangsaan Austria, Kollar,
memperkenalkan konsep pengendalian alami (natural control). Dari 1837 sampai
1852, seorang Jerman lainnya, Ratzeburg, melakukan penelitian mengenai serangga
hutan beserta parasitnya dan mempublikasikan Ichneumon der Forst-Insekten,
tetapi tidak menganggap diperlukan pelepasan augmentatif untuk mengendalikan
serangga hama hutan.
Pada 1856, Asa
Fitch dari negara bagian New York, menganjurkan mengimpor parasitoid dari
Eropah untuk mengendalikan Contarinia tritici yang menyerang tanaman gandum.
Pada 1860, parasit dipesan tetapi tidak pernah diterima di Amerika Serikat.
Pada masa yang
sama, Benyamin Walsh dari negara bagian Illinois mengimpor musuh alami untuk
mengendalikan hama eksotik di sana, tetapi gagal. Meskipun demikian, Walsh
berhasil mempengaruhi Charles V. Riley di negara bagian Misouri, yang pada 1870
berhasil menggunakan parasitoid untuk mengendalikan Conotrachelus nenuphar.
Pada 1871, LeBaron memindahkan cabang pohon apel terinfestasi serangga yang
diparasitasi Aphytis mytilaspidis dari Galena ke Geneva di negara bagian
Illinois. Riley mengirimkan tungau predator, Tyroglyphus phylloxerae, ke
Perancis untuk mengendalikan phylloxera, Daktulosphaira vitifolii, pada jeruk.
Tungau berhasil mapan di Perancis, tetapi tidak memberikan hasil pengendalian
yang memuaskan. Pengiriman serangga predator lintas negara pertama kali terjadi
pada 1874, ketika Coccinella undecimpunctata dikirim dari Inggris ke New
Zealand dan berhasil mapan di sana.
Pengiriman
parasitoid lintas negara terjadi pada 1882, ketika Trichogramma sp. dikirimkan
dari Amerika Serikat untuk mengendalikan lepidoptera hama di Canada, tetapi
pengiriman parasitoid antar benua terjadi pada 1883 ketika USDA mengimpor
Apanteles glomeratus dari Inggris untuk mengendalikan P. rapae di Washington
DC, Iowa, Nebraska, dan Misouri.
Penyakit ulat
sutra baru dikenal pada abad XVIII, padahal penyakit lebah sudah dikenal oleh
bangsa Romawi dan bangsa Yunani jauh sebelumnya. Vallisnieri merupakan orang
pertama yang menyebut penyakit muscardine pada ulat sutera, tetapi penemuan
jamur sebagai patogen pada serangga baru terjadi pada 1726 ketika de Reaumur
membuat ilustrasi jamur Cordyceps yang menginfeksi serangga noktuid.
Bukti
eksperimental pertama mengenai penyakit pada serangga diberikan oleh Agustino
Bassi yang pada 1837 berhasil mendemonstrasikan jamur Beauveria bassiana
sebagai penyebab penyakit muscardine pada ulat sutera. Atas dasar penelitiannya
tersebut, Basi merupakan orang pertama yang menganjurkan penggunaan mikroba
untuk mengendalikan serangga hama. Kemudian, pada 1874, Louis Pasteur
menganjurkan penggunaan mikroba untuk mengendalikan phylloxera pada anggur di
Perancis. Namun kedua anjuran tersebut tidak ditindaklanjuti di lapangan. Pada
1879, Elie Metchnikoff mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai penggunaan
Metarrhizium anisopliae untuk mengendalikan Anisopilia austriaca, hama penting
pada tanaman serealia di daerah Odessa, Rusia, dengan menyimpulkan bahwa M.
anisopliae, bila dapat diproduksi masal dan disebarkan di lapangan, dapat
mengendalikan A. austriaca. Berdasarkan hasil penelitian Metchnikoff tersebut,
M. anisopliae kemudian diproduksi masal di Ukraina pada 1884 dan digunakan
untuk mengendalikan Cleonus punctiventris pada bit gula. Pengendalian hayati
gulma bahkan baru dianjurkan pada 1855, ketika setelah mengamati bahwa gulma
asal Eropah pada padang penggembalaan di negara bagian New York tidak diserang
oleh serangga yang ada di sana, Asa Fitch menganjurkan mengimpor serangga yang
menyerang gulma tersebut dari tempat asalnya.
Pengendalian
hayati gulma baru dimulai pada 1863, ketika Dactylopius ceylonicus disebarkan
dari India Utara ke India Selatan untuk mengendalikan kaktus Opuntia vulgaris.
Setelah diimpor ke Srilanka, pada 1865 serangga tersebut berhasil mengendalikan
kaktus O. vulgaris dalam areal yang luas di sana.
Fenomena
pengendalian hayati diduga telah dimanfaatkan oleh bangsa Aztec pada 1519 untuk
mengendalikan patogen tumbuhan pada budidaya chinampas (pulau terapung) di
danau yang mengelilingi permukiman mereka di Tenochtitlán, sekarang Mexico
City. Pada pulau-pulau terapung tersebut diduga berkembang Trichoderma,
Pseudomonas, dan Fusarium yang antagonistik terhadap patogen penghuni tanah.
Pada 1874, W.
Robert menemukan bahwa gerusan Penicillium spp. dapat menghambat pertumbuhan
bakteri dan baru pada 1928 Sir Alexander Fleming berhasil mengisolasi penisilin
sebagai antibiotika. Sejak itu, berbagai antibiotika lain berhasil diisolasi,
pada umumnya dari mikroba saprofitik.
Periode modern
dalam sejarah pengendalian hayati dimulai ketika C.V Riley mulai melakukan
pengendalian hayati cottony cushion scale, Icerya purchasi, hama penting pada
tanaman jeruk di California. Hama ini masuk ke California pertama kali di Menlo
Park pada sekitar 1868 dan dengan cepat menjadi hama penting yang mengancam
budidaya jeruk yang baru dimulai di negara bagian tersebut. Riley menduga hama
tersebut berasal dari Australia sehingga pada 1888, ia mengirim Albert Koebele
untuk melakukan eksplorasi musuh alami hama tersebut di sana. Koebele kemudian
mengirimkan 12.000 individu diptera parasitoid Cryptochaetum iceryae dan 129
individu kumbang vedalia Rodolia cardinalis. C. iceryae berhasil mengendalikan
I. purchasi di bagian pedalaman, sedangkan R. cardinalis di bagian pesisir
California. Keberhasilan tersebut mendorong Riley mengirim kembali Koebele ke
Australia untuk melakukan eksplorasi parasit untuk hama lainnya. Sekembalinya
dari Australia pada 1889, Koebele diberhentikan dari tugasnya dan pada 1893
pindah ke dan bekerja untuk Hawaii. Keberhasilan pengendalian hayati I.
purchasi menghantarkan Riley dipandang sebagai bapak pengendalian hayati
modern. Namun bersamaan dengan berlebihannya perhatian pada pengendalian
hayati, metode pengendalian hama lainnya kurang mendapat perhatian di
California. Pada 1894, L.O. Howard menggantikan Riley sebagai Kepala Divisi
Entomologi USDA dan karena permasalahan kurang berkembangnya metode
pengendalian lainnya menyebabkannya berpandangan kurang mendukung pengendalian
hayati. Meskipun demikian, pada 1899 George Compere diangkat sebagai pegawai
negeri pertama yang khusus ditugaskan untuk pekerjaan pengendalian hayati. Ia
bekerja sampai 1910 dan berhasil mengirimkan banyak serangga bermanfaat ke
California dari berbagai belahan dunia.
Putranya,
Harold Comepere juga mengabdikan hidupnya dalam bidang pengendalian hayati di
California. Pada 1911, Berliner berhasil menemukan Bacillus thuringiensis
sebagai penyebab penyakit yang mematikan pada ngengat tepung mediterania. Pada
1913, Harry Scott Smith diangkat sebagai pimpinan insektarium negara bagian di
Sacramento. USDA membangun laboratorium pengendalian hayati di Perancis pada
1919. Biro Kerajaan Inggris untuk Entomologi membangun Laboratorium Farnham
House pada 1927 yang sejak 1928 dipimpin oleh W.R. Thompson. Pada 1923,
kegiatan pengendalian hayati di California dipusatkan di Stasiun Penelitian
Jeruk dan Sekolah Pascasarjana Pertanian Tropis Universitas California di
Riverside (UCR). Di UCR, pekerjaan pengendalian hayati mula-mula dilakukan pada
Divisi Penelitian Serangga Bermanfaat yang kemudian pada 1947, setelah pada
1945 Smith membuka fasilitas yang sama di Albany di bawah Universitas
California di Berkeley (UCB), diubah menjadi Divisi Pengendalian Hayati dengan
Smith sebagai Kepala Divisi. Di bawah pimpinan Smith, dimasukkan kumbang
Chrysolina dari Australia untuk mengendalikan gulma klamath yang menandai awal
pengendalian hayati gulma di California pada 1944. Di UCB, Edward Steinhaus
membuka laboratorium dan membuat kurikulum patologi serangga yang pertama pada
1947. Kemudian ia dipindahkan ke Universitas Califonia di Irvine (UCI) dan
mengembangkan program yang sama di sana sampai meninggalnya secara mendadak pada
1968. Bagian Pengendalian Hayati di UCR diubah menjadi Departemen Pengendalian
Hayati pada 1954. Departemen tersebut menjadi pusat pendidikan dan penelitian
pengendalian hayati yang sangat ternama pada tahun 1962-an, khususnya dalam
bidang pengendalian hayati klasik.
Setelah pindah
ke Hawaii, pada 1902 Koebele pergi ke Mexico dan Amerika Tengah untuk melakukan
eksplorasi serangga fitofag terhadap Lantana camara di bawah pimpinan R.C.L.
Perkins. Pada 1904, Perkins diangkat sebagai pimpinan Sugarcane Leafhopper
Project (1904-1920). Frederick Muir yang dipekerjakan setelah Koebele jatuh
sakit, pada 1920 berhasil menemukan predator yang sangat efektif, Tytthus
(=Cyrtorhinus) mundulus, di Queensland, Australia.
Perang Dunia
II menyebabkan terhentinya pengembangan pengendalian hayati. Setelah
insektisida sintetik yang murah ditemukan pada masa Perang Dunia II, penelitian
entomologis beralih secara tajam ke pengendalian kimiawi dan penelitian
pengendalian hayati mulai ditinggalkan. Bahkan karena desakan profesor-profesor
yang berlatar belakang pengendalian kimiawi, status departemen bagi
pengendalian hayati di UCR pada 1969 diturunkan menjadi divisi dan pada 1989,
divisi tersebut bahkan dihapuskan. Di UCB, pengendalian hayati juga berstatus
divisi pada Departemen Entomologi, tetapi profesor di sana berhasil memperoleh
jaminan untuk bekerja dengan campur tangan minimum oleh departemen.
Pengendalian hayati kembali memperoleh perhatian di Amerika Serikat setelah
pengendalian kimiawi terbukti menimbulkan berbagai permasalahan hama,
kesehatan, dan lingkungan.
Di luar
Amerika Serikat, Dinas Parasit Kerajaan di Trinidad, India Barat, pada 1947
diubah menjadi Biro Persemakmuran untuk Pengendalian Hayati dan pada 1951
kembali diubah menjadi Lembaga Persemakmuran untuk Pengendalian Hayati
(Commonwealth Institute for Biological Control, CIBC). Pada 1955, didirikan
Commision Internationale de Lutte Biologique les Enemis des Cultures (CILB) di
Zurich, Swiss yang pada 1962 berubah nama menjadi Organisation Internationale
de Lutte Biologique contre les Animaux et les Plantes Nuisibles yang lebih
dikenal sebagai International Organization for Biological Control (IOBC).
Pengendalian
hayati patogen tumbuhan juga berkembang selama periode pertengahan sampai
modern, khususnya setelah abad XIX. Pada 1921, Hartley menemukan bahwa 30%
benih yang tumbuh pada tanah steril yang kemudian diinokulasi dengan campuran
Pythium debaryanum mengalami rebah kecambah, sedangkan bila diinokulasi dengan
campuran P. debaryanum dengan Phoma, Chaetomium, Rhizopus, Trichoderma,
Aspergillus, Rosellinia, dan Penicillium, rebah kecambah turun menjadi 16,9%.
Sanford dan Broadfoot pada 1931 pertama kali menggunakan istilah pengendalian
hayati untuk pengendalian patogen tumbuhan, setelah istilah tersebut sebelumnya
pertama kali digunakan oleh H.S. Smith pada 1919 untuk pengendalian serangga
hama. Selama 1931-1941, Weindling menemukan bahwa Trichoderma viride bersifat
antagonistik terhadap patogen penghuni tanah dan berhasil mengisolasi viridin
dari T. viride dan gliotoksin dari Gliocladium virens yang aktif terhadap
Rhizoctonia solani. Pada 1933, Reinking and Manns memperkenalkan konsep tanah
supresif bagi tanah liat yang tidak dihuni Fusarium oxysporum f. sp. cubense,
penyebab penyakit panama pada pisang. Tanah supresif mempunyai kaitan dengan
mikroba antagonis karena, pada 1968 Gerlagh berhasil menunjukkan tanah supresif
menjadi kondusif bagi perkembangan Gaeumannomyces graminis var. tritici pada
gandum.