Minggu, 10 Juni 2012

SEJARAH PENGENDALIAN HAYATI


Sejarah pengendalian hayati sebenarnya telah dimulai jauh sebelum  pengendalian hayati didefinisikan pengertiannya. Masyarakat Mesir pada 2.000 SM telah memelihara kucing untuk mengendalikan tikus yang menyerang hasil panen mereka. Di Cina, semut Oecophylla smaragdina telah digunakan untuk mengendalikan Lepidoptera dan Coleoptera hama pada pertanaman jeruk sejak 324 SM. Cara tersebut masih digunakan di Myanmar bagian Utara sampai tahun 1950-an. Pada saat ini, pengendalian hayati telah mengalami banyak kemajuan, tetapi bukan berarti tanpa mengalami pasang naik dan surut.
Dalam perkembangannya sampai sekarang ini, sejarah pengendalian hayati dapat dipilahkan menjadi tiga periode sebagai berikut:
1) Periode awal, sejak penggunaan kucing untuk menangkap tikus oleh masyarakat Mesir Kuno sampai pada sekitar 1887.
2) Periode pertengahan, sejak dilaksanakannya program pengendalian hayati menggunakan kumbang vedalia (Rodolia cardinalis) untuk mengendalikan kutu sisik Icerya purchasi pada tanaman jeruk di California pada 1888 sampai 1955.
3) Periode modern, sejak 1955 yang ditandai dengan perancangan program pengendalian hayati secara hati-hati sampai sekarang.
Pengendali hayati yang mula-mula dimanfaatkan adalah predator. Kucing (Felis catus) yang dimanfaatkan oleh bangsa Mesir Kuno, semut (Oecophyla smaragdina) oleh bangsa Cina, dan kemudian burung beo Acridotheres trictis yang diintroduksi dari India ke Mauritius untuk mengendalikan belalang-kembara merah Nomadacris septemfasciata pada tahun 1770, semuanya merupakan predator. Predator yang pertama kali berhasil digunakan untuk mengendalikan hama secara luas adalah pentatomid Picomerus bidens untuk mengendalikan kutu busuk Cimex lectularius di Eropah pada 1776.
Parasitoid baru dikenal pada akhir abad XVI. Pada 1602, U. Aldrovandi telah mempublikasikan pengamatannya mengenai kokon Apanteles glomeratus yang menempel pada tubuh larva Pieris brassicae, tetapi membuat kekeliruan dengan menyatakan kokon tersebut sebagai telur serangga. Pada 1662, Johannes Goedaert mempublikasikan bukunya, Metamorphosis et Historia Naturalis Insectorum, yang memuat banyak gambar parasitoid dan menyebutkan bahwa lalat kecil keluar dari pupa kupu-kupu. Interpretasi yang benar mengenai publikasi Goedaert diberikan oleh Martin Lister, seorang dokter berkebangsaan Inggris, dalam suratnya yang dipublikasikan dalam The Philosophical Transactions of the Royal Society of London terbitan 1670-71 dengan menyatakan bahwa lalat yang keluar dari pupa adalah keturunan dari lalat ikneumonid yang meletakkan telurnya di dalam larva P. brassicae. Namun demikian, orang yang pertama kali memberikan uraian yang sangat jelas mengenai fenomena parasitisme adalah ahli mikrobiologi berkebangsaan Belanda, Antoni van Leeuwenhoek, melalui suratnya kepada The Royal Society yang kemudian dipublikasikan dalam Philosophical Transactions yang terbit pada 1701. Di dalam publikasi tersebut, van Leeuwenhoek menguraikan dengan jelas serangga --yang kemudian dapat dideterminasi sebagai Aphidius ribis-- yang memarasit Cryptomyzus ribis. Meskipun demikian, orang yang pertama menginter-pretasikan fenomena tersebut sebagai parasitisme adalah Vallisnieri pada 1706.
Pada 1800, Erasmus Darwin menguraikan peranan predator dan parasitoid dalam mengendalikan populasi serangga hama. Seorang berkebangsaan Jerman, Hartig, menganjurkan pengumpulan parasitoid dari lalat terparasitasi untuk pelepasan masal pada 1827. Satu dasawarsa kemudian, seorang berkebangsaan Austria, Kollar, memperkenalkan konsep pengendalian alami (natural control). Dari 1837 sampai 1852, seorang Jerman lainnya, Ratzeburg, melakukan penelitian mengenai serangga hutan beserta parasitnya dan mempublikasikan Ichneumon der Forst-Insekten, tetapi tidak menganggap diperlukan pelepasan augmentatif untuk mengendalikan serangga hama hutan.
Pada 1856, Asa Fitch dari negara bagian New York, menganjurkan mengimpor parasitoid dari Eropah untuk mengendalikan Contarinia tritici yang menyerang tanaman gandum. Pada 1860, parasit dipesan tetapi tidak pernah diterima di Amerika Serikat.
Pada masa yang sama, Benyamin Walsh dari negara bagian Illinois mengimpor musuh alami untuk mengendalikan hama eksotik di sana, tetapi gagal. Meskipun demikian, Walsh berhasil mempengaruhi Charles V. Riley di negara bagian Misouri, yang pada 1870 berhasil menggunakan parasitoid untuk mengendalikan Conotrachelus nenuphar. Pada 1871, LeBaron memindahkan cabang pohon apel terinfestasi serangga yang diparasitasi Aphytis mytilaspidis dari Galena ke Geneva di negara bagian Illinois. Riley mengirimkan tungau predator, Tyroglyphus phylloxerae, ke Perancis untuk mengendalikan phylloxera, Daktulosphaira vitifolii, pada jeruk. Tungau berhasil mapan di Perancis, tetapi tidak memberikan hasil pengendalian yang memuaskan. Pengiriman serangga predator lintas negara pertama kali terjadi pada 1874, ketika Coccinella undecimpunctata dikirim dari Inggris ke New Zealand dan berhasil mapan di sana.
Pengiriman parasitoid lintas negara terjadi pada 1882, ketika Trichogramma sp. dikirimkan dari Amerika Serikat untuk mengendalikan lepidoptera hama di Canada, tetapi pengiriman parasitoid antar benua terjadi pada 1883 ketika USDA mengimpor Apanteles glomeratus dari Inggris untuk mengendalikan P. rapae di Washington DC, Iowa, Nebraska, dan Misouri.
Penyakit ulat sutra baru dikenal pada abad XVIII, padahal penyakit lebah sudah dikenal oleh bangsa Romawi dan bangsa Yunani jauh sebelumnya. Vallisnieri merupakan orang pertama yang menyebut penyakit muscardine pada ulat sutera, tetapi penemuan jamur sebagai patogen pada serangga baru terjadi pada 1726 ketika de Reaumur membuat ilustrasi jamur Cordyceps yang menginfeksi serangga noktuid.
Bukti eksperimental pertama mengenai penyakit pada serangga diberikan oleh Agustino Bassi yang pada 1837 berhasil mendemonstrasikan jamur Beauveria bassiana sebagai penyebab penyakit muscardine pada ulat sutera. Atas dasar penelitiannya tersebut, Basi merupakan orang pertama yang menganjurkan penggunaan mikroba untuk mengendalikan serangga hama. Kemudian, pada 1874, Louis Pasteur menganjurkan penggunaan mikroba untuk mengendalikan phylloxera pada anggur di Perancis. Namun kedua anjuran tersebut tidak ditindaklanjuti di lapangan. Pada 1879, Elie Metchnikoff mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai penggunaan Metarrhizium anisopliae untuk mengendalikan Anisopilia austriaca, hama penting pada tanaman serealia di daerah Odessa, Rusia, dengan menyimpulkan bahwa M. anisopliae, bila dapat diproduksi masal dan disebarkan di lapangan, dapat mengendalikan A. austriaca. Berdasarkan hasil penelitian Metchnikoff tersebut, M. anisopliae kemudian diproduksi masal di Ukraina pada 1884 dan digunakan untuk mengendalikan Cleonus punctiventris pada bit gula. Pengendalian hayati gulma bahkan baru dianjurkan pada 1855, ketika setelah mengamati bahwa gulma asal Eropah pada padang penggembalaan di negara bagian New York tidak diserang oleh serangga yang ada di sana, Asa Fitch menganjurkan mengimpor serangga yang menyerang gulma tersebut dari tempat asalnya.
Pengendalian hayati gulma baru dimulai pada 1863, ketika Dactylopius ceylonicus disebarkan dari India Utara ke India Selatan untuk mengendalikan kaktus Opuntia vulgaris. Setelah diimpor ke Srilanka, pada 1865 serangga tersebut berhasil mengendalikan kaktus O. vulgaris dalam areal yang luas di sana.
Fenomena pengendalian hayati diduga telah dimanfaatkan oleh bangsa Aztec pada 1519 untuk mengendalikan patogen tumbuhan pada budidaya chinampas (pulau terapung) di danau yang mengelilingi permukiman mereka di Tenochtitlán, sekarang Mexico City. Pada pulau-pulau terapung tersebut diduga berkembang Trichoderma, Pseudomonas, dan Fusarium yang antagonistik terhadap patogen penghuni tanah.
Pada 1874, W. Robert menemukan bahwa gerusan Penicillium spp. dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan baru pada 1928 Sir Alexander Fleming berhasil mengisolasi penisilin sebagai antibiotika. Sejak itu, berbagai antibiotika lain berhasil diisolasi, pada umumnya dari mikroba saprofitik.
Periode modern dalam sejarah pengendalian hayati dimulai ketika C.V Riley mulai melakukan pengendalian hayati cottony cushion scale, Icerya purchasi, hama penting pada tanaman jeruk di California. Hama ini masuk ke California pertama kali di Menlo Park pada sekitar 1868 dan dengan cepat menjadi hama penting yang mengancam budidaya jeruk yang baru dimulai di negara bagian tersebut. Riley menduga hama tersebut berasal dari Australia sehingga pada 1888, ia mengirim Albert Koebele untuk melakukan eksplorasi musuh alami hama tersebut di sana. Koebele kemudian mengirimkan 12.000 individu diptera parasitoid Cryptochaetum iceryae dan 129 individu kumbang vedalia Rodolia cardinalis. C. iceryae berhasil mengendalikan I. purchasi di bagian pedalaman, sedangkan R. cardinalis di bagian pesisir California. Keberhasilan tersebut mendorong Riley mengirim kembali Koebele ke Australia untuk melakukan eksplorasi parasit untuk hama lainnya. Sekembalinya dari Australia pada 1889, Koebele diberhentikan dari tugasnya dan pada 1893 pindah ke dan bekerja untuk Hawaii. Keberhasilan pengendalian hayati I. purchasi menghantarkan Riley dipandang sebagai bapak pengendalian hayati modern. Namun bersamaan dengan berlebihannya perhatian pada pengendalian hayati, metode pengendalian hama lainnya kurang mendapat perhatian di California. Pada 1894, L.O. Howard menggantikan Riley sebagai Kepala Divisi Entomologi USDA dan karena permasalahan kurang berkembangnya metode pengendalian lainnya menyebabkannya berpandangan kurang mendukung pengendalian hayati. Meskipun demikian, pada 1899 George Compere diangkat sebagai pegawai negeri pertama yang khusus ditugaskan untuk pekerjaan pengendalian hayati. Ia bekerja sampai 1910 dan berhasil mengirimkan banyak serangga bermanfaat ke California dari berbagai belahan dunia.
Putranya, Harold Comepere juga mengabdikan hidupnya dalam bidang pengendalian hayati di California. Pada 1911, Berliner berhasil menemukan Bacillus thuringiensis sebagai penyebab penyakit yang mematikan pada ngengat tepung mediterania. Pada 1913, Harry Scott Smith diangkat sebagai pimpinan insektarium negara bagian di Sacramento. USDA membangun laboratorium pengendalian hayati di Perancis pada 1919. Biro Kerajaan Inggris untuk Entomologi membangun Laboratorium Farnham House pada 1927 yang sejak 1928 dipimpin oleh W.R. Thompson. Pada 1923, kegiatan pengendalian hayati di California dipusatkan di Stasiun Penelitian Jeruk dan Sekolah Pascasarjana Pertanian Tropis Universitas California di Riverside (UCR). Di UCR, pekerjaan pengendalian hayati mula-mula dilakukan pada Divisi Penelitian Serangga Bermanfaat yang kemudian pada 1947, setelah pada 1945 Smith membuka fasilitas yang sama di Albany di bawah Universitas California di Berkeley (UCB), diubah menjadi Divisi Pengendalian Hayati dengan Smith sebagai Kepala Divisi. Di bawah pimpinan Smith, dimasukkan kumbang Chrysolina dari Australia untuk mengendalikan gulma klamath yang menandai awal pengendalian hayati gulma di California pada 1944. Di UCB, Edward Steinhaus membuka laboratorium dan membuat kurikulum patologi serangga yang pertama pada 1947. Kemudian ia dipindahkan ke Universitas Califonia di Irvine (UCI) dan mengembangkan program yang sama di sana sampai meninggalnya secara mendadak pada 1968. Bagian Pengendalian Hayati di UCR diubah menjadi Departemen Pengendalian Hayati pada 1954. Departemen tersebut menjadi pusat pendidikan dan penelitian pengendalian hayati yang sangat ternama pada tahun 1962-an, khususnya dalam bidang pengendalian hayati klasik.
Setelah pindah ke Hawaii, pada 1902 Koebele pergi ke Mexico dan Amerika Tengah untuk melakukan eksplorasi serangga fitofag terhadap Lantana camara di bawah pimpinan R.C.L. Perkins. Pada 1904, Perkins diangkat sebagai pimpinan Sugarcane Leafhopper Project (1904-1920). Frederick Muir yang dipekerjakan setelah Koebele jatuh sakit, pada 1920 berhasil menemukan predator yang sangat efektif, Tytthus (=Cyrtorhinus) mundulus, di Queensland, Australia.
Perang Dunia II menyebabkan terhentinya pengembangan pengendalian hayati. Setelah insektisida sintetik yang murah ditemukan pada masa Perang Dunia II, penelitian entomologis beralih secara tajam ke pengendalian kimiawi dan penelitian pengendalian hayati mulai ditinggalkan. Bahkan karena desakan profesor-profesor yang berlatar belakang pengendalian kimiawi, status departemen bagi pengendalian hayati di UCR pada 1969 diturunkan menjadi divisi dan pada 1989, divisi tersebut bahkan dihapuskan. Di UCB, pengendalian hayati juga berstatus divisi pada Departemen Entomologi, tetapi profesor di sana berhasil memperoleh jaminan untuk bekerja dengan campur tangan minimum oleh departemen. Pengendalian hayati kembali memperoleh perhatian di Amerika Serikat setelah pengendalian kimiawi terbukti menimbulkan berbagai permasalahan hama, kesehatan, dan lingkungan.
Di luar Amerika Serikat, Dinas Parasit Kerajaan di Trinidad, India Barat, pada 1947 diubah menjadi Biro Persemakmuran untuk Pengendalian Hayati dan pada 1951 kembali diubah menjadi Lembaga Persemakmuran untuk Pengendalian Hayati (Commonwealth Institute for Biological Control, CIBC). Pada 1955, didirikan Commision Internationale de Lutte Biologique les Enemis des Cultures (CILB) di Zurich, Swiss yang pada 1962 berubah nama menjadi Organisation Internationale de Lutte Biologique contre les Animaux et les Plantes Nuisibles yang lebih dikenal sebagai International Organization for Biological Control (IOBC).
Pengendalian hayati patogen tumbuhan juga berkembang selama periode pertengahan sampai modern, khususnya setelah abad XIX. Pada 1921, Hartley menemukan bahwa 30% benih yang tumbuh pada tanah steril yang kemudian diinokulasi dengan campuran Pythium debaryanum mengalami rebah kecambah, sedangkan bila diinokulasi dengan campuran P. debaryanum dengan Phoma, Chaetomium, Rhizopus, Trichoderma, Aspergillus, Rosellinia, dan Penicillium, rebah kecambah turun menjadi 16,9%. Sanford dan Broadfoot pada 1931 pertama kali menggunakan istilah pengendalian hayati untuk pengendalian patogen tumbuhan, setelah istilah tersebut sebelumnya pertama kali digunakan oleh H.S. Smith pada 1919 untuk pengendalian serangga hama. Selama 1931-1941, Weindling menemukan bahwa Trichoderma viride bersifat antagonistik terhadap patogen penghuni tanah dan berhasil mengisolasi viridin dari T. viride dan gliotoksin dari Gliocladium virens yang aktif terhadap Rhizoctonia solani. Pada 1933, Reinking and Manns memperkenalkan konsep tanah supresif bagi tanah liat yang tidak dihuni Fusarium oxysporum f. sp. cubense, penyebab penyakit panama pada pisang. Tanah supresif mempunyai kaitan dengan mikroba antagonis karena, pada 1968 Gerlagh berhasil menunjukkan tanah supresif menjadi kondusif bagi perkembangan Gaeumannomyces graminis var. tritici pada gandum.





PENGERTIAN DAN LINGKUP PENGENDALIAN HAYATI



Sejak istilah “pengendalian hayati” pertama kali digunakan oleh Harry S. Smith pada 1919, banyak pengertian diberikan terhadap istilah tersebut. Smith mula-mula memberikan pengertian kepada pengendalian hayati sebagai penggunaan musuh alami yang diintroduksi maupun yang dimanipulasi dari musuh alami setempat untuk mengendalikan serangga hama. Dari sudut pandang praktis, pengendalian hayati dapat dibedakan menjadi:
1) Introduksi musuh alami yang tidak terdapat di daerah yang terinfestasi hama
2) Peningkatan secara buatan jumlah individu musuh alami yang telah ada di wilayah yang terinfestasi hama dengan melakukan manipulasi sehingga musuh alami yang ada dapat menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi terhadap hama.
Pengertian pengendalian alami yang diberikan oleh Smith tersebut kemudian diperluas oleh P. de Bach pada 1964 dengan membedakan pengendalian alami dan pengendalian hayati:
1) Pengendalian alami adalah upaya untuk menjaga populasi organisme yang berfluktuasi dalam batas atas dan batas bawah selama suatu jangka waktu tertentu melalui pengaruh faktor lingkungan abiotik maupun biotik
2) Pengendalian hayati adalah kemampuan predator, parasitoid, maupun patogen dalam menjaga padat populasi organisme lain lebih rendah daripada padat populasi dalam keadaan tanpa kehadiran predator, parasitoid, atau patogen.
De Bach membedakan pengendalian alami dari pengendalian hayati, tetapi harus dicermati bahwa:
1) Tidak jelas perbedaan antara pengaruh faktor lingkungan biotik dalam pengendalian alami dengan pengaruh predator, parasitoid, atau parasit dalam pengendalian hayati
2) Pengendalian alami menurut de Bach juga mencakup pengaruh faktor lingkungan abiotik
Pada 1962, Bosch dan kawan-kawan memodifikasi pengertian pengendalian alami dan pengendalian hayati yang dikemukakan de Bach menjadi:
1) Pengendalian hayati alami (natural biological control) sebagai pengendalian yang terjadi tanpa campur tangan manusia.
2) Pengendalian hayati terapan (applied biological control) sebagai manipulasi musuh alami oleh manusia untuk mengendalikan hama.
Bosch dan kawan-kawan membedakan tiga kategori pengendalian hayati terapan sebagai berikut:
1) Pengendalian hayati klasik melalui introduksi musuh alami untuk mengendalikan hama
2) Augmentasi musuh alami melalui upaya untuk meningkatkan populasi atau pengaruh menguntungkan yang diberikan oleh musuh alami
3) Konservasi musuh alami melalui upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk melindungi dan menjaga populasi musuh alami.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian pengendalian hayati diperluas menjadi mencakup faktor-faktor seperti ketahanan tanaman, autosterilisasi, manipulasi genetik, pengendalian budidaya, dan bahkan penggunaan pestisida generasi ketiga semacam zat pengatur tumbuh serangga. Namun dalam perkembangan lebih lanjut, pengertian luas tersebut kembali ditinggalkan dan yang digunakan adalah pengertian menurut Bosch dan kawan-kawan dengan perubahan istilah pengendalian hayati alami menjadi pengendalian alami (natural control) dan pengendalian hayati terapan menjadi pengendalian hayati (biological control). Weeden dan kawan-kawan dari Universitas Cornell, AS, misalnya, memberikan pengendalian hayati sebagai penggunaan mahluk hidup semacam predator, parasitoid, dan patogen dengan melibatkan campur tangan manusia untuk mengendalikan hama, penyakit, dan gulma. Universitas Negara Bagian Michigan, AS, memberikan pengertian yang kurang lebih sama, yaitu upaya yang dilakukan manusia untuk memanipulasi musuh alami yang terdiri atas predator, parasitoid, patogen, dan pesaing hama (pest competitor) atau sumberdayanya untuk mendukung pengendalian hama dalam arti luas
Pada 1987, Komisi Ilmu Pengetahuan, Keteknikan, dan Kebijakan Publik (the Committee on Science, Engineering and Public Policy, COSEPUP) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan AS, Lembaga Keteknikan AS, dan Lembaga Kedokteran AS menganjurkan penggunaan definisi luas pengendalian hayati sebagai penggunaan organisme alami atau hasil rekayasa, gen, atau hasil rekayasa gen untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh organisme hama dan dampak positif yang ditimbulkan oleh organisme bermanfaat seperti tanaman, pohon hutan, ternak, serta serangga dan organisme bermanfaat lainnya. Definisi yang diperluas ini ditolak oleh Divisi Pengendalian Hayati UCB karena tidak dapat memberikan perbedaan yang jelas dengan metode pengendalian hama lainnya dalam hal ciri utama pengendalian yang bersifat self-sustaining tanpa harus diberikan masukan secara terus menerus dan tergantung padat populasi dalam mekanismenya mengendalikan hama. Divisi Pengendalian Hayati UCB mempertahankan pengertian pengendalian hayati sebagaimana diberikan oleh DeBach sebagai kinerja parasitoid, predator, atau patogen dalam menekan padat populasi organisme lain pada taraf yang lebih rendah daripada tanpa kehadiran musuh alami tersebut.
Pengertian pengendalian hayati yang digunakan dewasa ini dan mudah diingat adalah yang diberikan oleh Midwest Institut for Biological Control, AS, yang mendefinisikan pengendalian hayati sebagai tiga kelompok yang masing-masing terdiri atas tiga unsur (three sets of three). Ketiga kelompok yang dimaksudkan mencakup “siapa” (who), yaitu musuh alami yang digunakan sebagai agen pengendali, “apa” (what), yaitu tujuan pengendalian hayati, dan “bagaimana” (how), yaitu cara musuh alami digunakan untuk mencapai tujuan pengendalian hayati. Kelompok “siapa” terdiri atas unsur-unsur predator, parasitoid, dan patogen, kelompok “apa“ terdiri atas unsur-unsur reduksi, prevensi, dan penundaan, serta kelompok “bagaimana” terdiri atas unsur-unsur importasi, augmentasi, dan konservasi. Sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, pengertian three sets of three tersebut tentu saja bukan merupakan harga mati, melainkan hanya untuk mempermudah mengingat. Kelompok “apa” ternyata tidak hanya terdiri atas unsur-unsur predator, parasitoid, dan patogen, tetapi juga pemakan gulma (weed feeders) dalam pengendalian hayati gulma dan antagonis dalam pengendalian hayati penyakit tumbuhan.


Lingkup Materi Kuliah Pengendalian Hayati
Sebelum mempelajari pengendalian hayati secara rinci sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, terlebih dahulu perlu diperoleh gambaran sekilas (overview) mengenai pengendalian hayati. Gambaran sekilas tersebut diperlukan sebagai panduan untuk mengaitkan satu bab dengan bab lain sehingga dengan mempelajari secara rinci bab demi bab, gambaran utuh pengendalian hayati tidak menjadi kabur.
Pengendalian hayati yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya pada dasarnya merupakan materi yang disajikan untuk memberikan kompetensi dasar atau pengantar mengenai pengendalian hayati serangga hama, patogen, dan gulma pertanian dalam konteks sebagai salah satu komponen dari Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Untuk memudahkan pemahaman dan mempertahankan keterkaitan antar topik, materi akan disajikan dalam bab-bab yang dikelompokkan menjadi bagian-bagian:
1) Pendahuluan dan dasar-dasar ekologis, yang berisi bab-bab yang akan menguraikan sejarah dan pengertian pengendalian hayati, dasar-dasar dinamika populasi, dinamika interaksi predator-mangsa dan interaksi parasitoid-inang, dan dinamika interaksi patogen-inang.
2) Pengenalan Agen Pengendali Hayati yang berisi bab-bab yang akan menguraikan pengenalan predator, pengenalan parasitoid, pengenalan patogen dan antagonis, serta pengenalan pemakan gulma.
3) Pengembangan dan penerapan pengendalian hayati yang berisi bab-bab yang akan menguraikan prosedur pengembangan pengendalian hayati klasik, prosedur pengembangan pestisida hayati, prosedur konservasi musuh alami, serta penerapan dan evaluasi pengendalian hayati.
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pengertian dan lingkup pengendalian hayati, pengendalian hayati merupakan upaya manusia dalam memanipulasi musuh alami untuk mengendalikan hama dalam arti luas. Ini berarti bahwa pengendalian hayati merupakan tindakan manipulasi ekosistem dalam kaitan dengan interaksi antara populasi musuh alami dengan populasi hama yang menjadi sasarannya. Interaksi tersebut perlu dipahami sebagai dasar memahami cara kerja pengendalian hayati secara utuh.
Musuh alami mencakup seluruh mahluk hidup yang memanfaatkan mahluk hidup lain untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Pengendalian alami berkaitan dengan peranan musuh alami tersebut dalam menekan populasi hama dalam arti luas sebagaimana adanya tanpa campur tangan manusia. Musuh alami yang sama yang secara sengaja melalui importasi, augmentasi, dan konservasi dimanfaatkan untuk mengendalikan hama disebut agen pengendali hayati (biological control agent). Dalam buku-buku teks berbahasa Indonesia mengenai pengendalian hayati, istilah biological control agent diindonesiakan menjadi “agensia pengendali hayati”. Namun pengindonesiaan istilah Inggris “agent” menjadi “agensia” tidak sesuai dengan kaidah pembentukan istilah dalam bahasa Indonesia (“president” diindonesiakan menjadi “presiden” dan bukan “presidensia”, “antagonist” menjadi “antagonis” dan bukan “antagonisia”). Istilah “agensi” juga tidak tepat karena dalam bahasa Inggris kata “agency” mempunyai makna yang berbeda dengan kata “agent” sebagaimana digunakan dalam istilah biological control agents. Oleh karena itu, istilah yang selanjutnya akan digunakan untuk mengacu kepada musuh alami yang digunakan secara sengaja untuk mengendalikan hama dalam arti luas adalah agen pengendali hayati.

Sebagaimana telah diuraikan dalam sejarah pengendalian hayati, pengendalian hayati pertama-tama digunakan terhadap binatang hama. Dalam pengendalian binatang hama, agen pengendali yang lazim digunakan terdiri atas predator, parasitoid, dan patogen sehingga komponen “apa” dalam pengertian pengendalian hayati yang diberikan oleh Midwest Institut for Biological Control hanya terdiri atas tiga unsur. Kini pengendalian hayati telah dilakukan terhadap binatang hama, penyakit tumbuhan, dan gulma sehingga tiga unsur tersebut harus diperluas dengan antagonis dan pemakan gulma (weed feeder). Dengan pengendalian hayati yang kini mencakup pengendalian binatang hama, penyakit tumbuhan, dan gulma, agen pengendali hayati terdiri atas unsur-unsur:
1) Predator, yaitu mahluk hidup yang memakan mahluk hidup lain yang lebih kecil atau lebih lemah dari dirinya. Mahluk hidup lain yang dimakan oleh predator disebut mangsa (prey) dan proses pemakanannya disebut predasi.
2) Parasitoid, yaitu mahluk hidup parasitik yang hidup di dalam atau di permukaan tubuh dan pada akhirnya menyebabkan kematian mahluk lain yang ditumpanginya. Mahluk lain yang ditumpangi parasitoid disebut inang (host) dan proses interaksinya disebut parasitasi.
3) Patogen, yaitu mahluk hidup parasitik mikroskopik yang hidup di dalam atau di permukaan tubuh dan pada akhirnya menyebabkan kematian mahluk hidup lain yang diserangnya. Mahluk lain yang diserang patogen disebut inang (host).
4) Antagonis, yaitu mahluk hidup mikroskopik yang dapat menimbulkan pengaruh tidak menguntungkan bagi mahluk hidup lain melalui kerusakan fisik, parasitasi, sekresi antibiotik, dan bentuk-bentuk penghambatan lain seperti persaingan untuk memperoleh hara dan ruang tumbuh.
5) Pemakan gulma, yaitu mahluk hidup pemakan gulma tetapi tidak mamakan tumbuhan lain yang bermanfaat.
Dalam buku-buku teks pengendalian hayati, sering juga digunakan istilah “parasit” untuk mengacu kepada parasitoid. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa penggunaan parasit hanya untuk mengacu kepada parasitoid dapat menimbulkan kebingungan karena ada parasit yang merupakan patogen atau bahkan antagonis. Istilah “patogen” dalam pengendalian hayati mencakup patogen terhadap binatang hama, terhadap patogen penyebab penyakit tumbuhan, dan terhadap gulma.
Mengingat pengendalian hayati dilakukan dengan memanfaatkan mahluk hidup lain untuk mengendalikan hama dalam arti luas maka banyak kalangan menganggap pengendalian hayati sebagai metode pengendalian yang sekali dilakukan maka akan berlangsung terus dengan sendirinya sehingga biayanya murah. Dalam kenyataannya, pengertian murah dalam pengendalian hayati bersifat sangat relatif dan kontekstual.
Meskipun demikian, pengendalian hayati memang memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan metode pengendalian lainnya. Kelebihan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam skala aplikasi oleh petani, pengendalian hayati (khususnya pengendalian hayati klasik) merupakan metode pengendalian yang relatif murah. Namun pengembangan pengendalian hayati pada umumnya klasik memerlukan biaya dan sumberdaya lain dalam jumlah yang sangat besar.
2) Pengendalian hayati merupakan metode pengendalian yang aman bagi lingkungan dan bagi kesehatan manusia. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak berbahaya bagi mahluk hidup bukan sasaran sehingga tidak menimbulkan resurgensi hama maupun ledakan hama kedua. Pengendalian hayati aman bagi kesehatan manusia karena mahluk hidup yang digunakan bukan merupakan mahluk hidup yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
3) Pengendalian hayati tidak mendorong terjadinya hama, patogen penyakit tumbuhan, maupun gulma yang resisten seperti halnya yang dapat terjadi dalam pengendalian kimiawi.
Selain kelebihan tersebut, pengendalian hayati juga mempunyai keterbatasan. Keterbatasan yang penting adalah sebagai berikut:
1) Pengendalian hayati tidak mungkin dilakukan untuk mengeradikasi hama sasarannya sebab kelangsungan hidup agen pengendali hayati, khususnya pengendalian hayati klasik, tergantung pada ketersediaan hama sasarannya sebagai bahan makanan bagi kelangsungan hidupnya
2) Efektivitas pengendalian hayati umumnya memerlukan waktu yang lama dan bersifat relatif dalam kaitan dengan ambang ekonomi yang harus ditetapkan terlebih dahulu.
3) Pengembangan pengendalian hayati merupakan pekerjaan yang memerlukan dukungan sumberdaya yang besar dalam bentuk tenaga ahli, fasilitas, dana, dan waktu tanpa ada jaminan keberhasilan.
Pengendalian hayati modern merupakan salah satu metode pengendalian yang masih reltif baru. Sebagai metode pengendalian yang relatif masih baru, penerapannya seringkali menghadapi banyak kendala, baik teknis maupun non-teknis. Namun sebagai metode yang relatif masih baru, pengendalian hayati merupakan metode pengendalian yang banyak dibicarakan dan banyak tersedia sumberdayanya di internet. Hampir seluruh universitas di AS menyediakan situs khusus mengenai pengendalian hayati, selain juga situs yang disediakan oleh organisasi pengendalian hayati. Situs-situs internet tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi tambahan untuk dapat lebih memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan pengendalian hayati.